Ramadhan selalu membawa keberkahan, tetapi bagi masyarakat di Jambi Kota Seberang (Kecamatan Danau Teluk dan Pelayangan Kota Jambi), bulan suci kali ini juga menjadi ujian kesabaran yang lebih lagi. Aek dalam (banjir) yang merendam rumah-rumah di kawasan ini menghadirkan tantangan tersendiri, terutama bagi mereka yang tetap berusaha menjalankan ibadah puasa dengan penuh keikhlasan.
Saat air menggenangi perkampungan, aktivitas sehari-hari menjadi lebih sulit. Warga harus menggunakan perahu sebagai sarana transportasi, baik untuk membeli kebutuhan sahur dan berbuka maupun untuk beraktivitas lainnya. Namun, yang mengagumkan adalah bagaimana masyarakat tetap menjaga sikap ramah dan penuh kesabaran. Tidak ada keluhan yang berlebihan, justru yang terlihat adalah semangat gotong royong yang semakin erat.
Salah satu hal yang paling menginspirasi adalah pelaksanaan ibadah di tengah banjir. Meski akses menuju masjid terendam air, banyak warga tetap berusaha melaksanakan sholat berjamaah. Beberapa dari mereka bahkan harus menggunakan perahu untuk mencapai masjid, menunjukkan betapa besar kecintaan mereka terhadap ibadah. Air yang menggenangi jalan dan rumah bukanlah penghalang untuk tetap mendekatkan diri kepada Allah.
Di sisi lain, semangat kebersamaan semakin terasa. Meskipun seluruh warga terdampak banjir, mereka tetap saling peduli dan menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi. Tradisi berbagi makanan tetap berjalan, meskipun kini tidak lagi semudah sebelumnya. Jika sebelum banjir warga dapat dengan santai berjalan kaki untuk mengantarkan makanan kepada tetangga dan sanak keluarga, kini mereka harus menghadapi tantangan genangan air. Namun, meskipun kondisi jauh dari ideal, suasana Ramadhan tetap dipenuhi dengan kehangatan dan rasa syukur.
Yang menarik, tradisi membangunkan sahur tetap berlangsung meski banjir melanda. Jika di daerah lain anak-anak dan remaja biasanya berjalan kaki berkeliling kampung sambil membunyikan kentongan atau alat musik sederhana, di Jambi Kota Seberang mereka justru menggunakan perahu untuk berkeliling membangunkan sahur. Dengan membawa alat pukul seadanya atau bahkan menggunakan suara mereka sendiri, mereka menyusuri jalan-jalan sempit yang kini tergenang air. Tradisi ini bukan sekadar untuk membangunkan sahur, tetapi juga menjadi simbol kebersamaan dan semangat Ramadhan yang tetap terjaga meski dalam kondisi sulit.
Banjir ini bukan lagi sekadar bencana musiman, melainkan bagian dari kehidupan yang telah lama dihadapi oleh masyarakat setempat. Kesadaran akan kondisi ini tercermin dalam arsitektur rumah panggung yang menjadi ciri khas daerah tersebut, serta keberadaan perahu di hampir setiap rumah sebagai alat mobilitas utama saat banjir datang. Meski sudah terbiasa dengan keadaan ini, Ramadhan tetap menjadi momen refleksi untuk semakin memperkuat kesiapan, ketahanan, dan kepedulian terhadap lingkungan, agar kehidupan di tengah banjir tetap harmonis dan penuh keberkahan.
Pada akhirnya, puasa di tengah banjir bukan hanya ujian fisik, tetapi juga ujian ketahanan iman dan solidaritas sosial. Jika kita mampu melewatinya dengan ketabahan dan kepedulian terhadap sesama, maka kita tidak hanya menjalankan ibadah, tetapi juga memperkuat nilai-nilai kemanusiaan.
(Oleh: Muhammad Ilham, S.Ud., M.Ag - Penyuluh Agama Kota Jambi)
Komentar
Posting Komentar